Kyai

SANG KIYAI

Oleh: Hakam Ahmed ElChudrie

kyai-2.jpg

Dalam budaya Jawa Islam tradisional, sosok kiai merupakan tokoh sentral yang memainkan peran penting dalam menggerakkan aksi-aksi sosial keagamaan dan aksi politik di masyarakat. Kiai merupakan gelar sakral dalam tradisi Jawa yang tidak mungkin diperoleh sembarang orang, melainkan hanya manusia-manusiaterpilih yang dianugerahi keutamaan oleh Allah SWT.

[1] Hal tersebut menempatkan kiai dalam posisi terhormat karena disokong oleh legitimasi kultural berupa pengakuan dari masyarakat sekitar.

[2] Semakin banyak masyarakat yang mengakuinya, maka semakin kuat pengaruhnya di hadapan publik. Pengakuan masyarakat terhadap entitas kekiaian seseorang dapat diukur dari beberapa parameter sosiologis. Aboebakar Atjeh misalnya, meletakkan empat faktor dasar penilaian seseorang dapat dikategorikan sebagai kiai, yakni 1). Faktor pengetahuan. 2). Kesalehan. 3). Keturunan. 4). Jumlah murid atau pengikut.

[3]Parameter ini relatif sebanding dengan gagasan Vredenbergt, di mana faktor pengabdian masyarakat menjadi poin terpenting dalam penilaiannya terhadap entitas kiai. Sementara itu, Karl A. Steenbrink meletakkan lima kriteria berbeda, yakni 1). Prinsip keluarga dan keturunan. 2). Ortopraksi/ kesalihan kiai. 3). Pengabdian masyarakat. 4). Prinsip interpretasi yang berwibawa, dan 5). Prinsip wahyu.

[4] Mudjahirin Tohir mendefinisikan entitas seorang kiai dengan memasang tiga parameter mendasar. Ada tiga elemen penting yang menentukan seseorang dapat disebut kiai atau tidak;

Pertama, penguasaan dan pemahaman keagamaan yang relatif lebih tinggi dan lebih baik dibandingkan pengetahuan masyarakat di lingkungannya. Kedua, dengan pemahaman yang baik tadi akan melahirkan sikap atau mentalitas yang baik bagi dirinya,tepatnya tercermin dalam visi geraknya. Jadi jika seseorang belum mampu memegang komitmen pada ajaran amar makruf nahi munkar, maka layak untuk diragukan kekiaiannya.

Ketiga, dengan visi dan sikap tadi, dia bisa memberikan pengaruh berupa keteladanan, komitmen serta konsistensi terhadap perilakunya sendiri. Jika seseorang tidak memiliki ketiga kategori tadi, maka seseorang tersebut harus didefinisikan kembali apakah dia seorang kiai atau tidak.

Berdasarkan ukuran-ukuran personal tersebut di atas seseorang dapat menjalankan fungsi kekiaian sebagai pemimpin religio-kultural dalam masyarakat. Dalam fungsi sosialnya sebagai penjaga tradisi, Zamachsari Dhofir mengibaratkan kiai sebagai raja kecil yang memegang sumber mutlak kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam tatanan sosial masyarakat pesantren, di mana pesantren disimbolkan sebagai miniatur kehidupan masyarakat luas yang sesungguhnya. Kiai memiliki kekuatan otoritas kultural yang tidak hanya berkutat pada lingkaran masyarakat sekitar pesantren, melainkan menyebar hingga menembus jaringan-jaringan sosial dalam skala makro.

[5]Menurut Endang Turmudzi, kemampuan itu dipengaruhi oleh dua faktor utama yang mendukung posisi kuat kiai di hadapan masyarakat.

Pertama, kiai adalah orang berpengetahuan luas yang kepadanya masyarakat menimba pengetahuan, meminta pertimbangan dalam banyak hal dan mencari jalan keluar atas setiap persoalan, menjadikan kiai benar-benar dekat dengan masyarakatnya. Kedua, faktor ekonomi dan kekayaan kiai. Kepemimpinan kiai ditaati karena terdapat kekuatan kharisma atau kewibawaannya, di mana kekayaan menjadi penopang kharisma kiai. Umumnya keluarga kiai relatif kaya. Melalui kekayaannya tersebut, kiai dapat menciptakan “pola patronase” yang bisa menghubungkan kepada kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat, hal ini sangat menopang kualitas kedudukan dan kepemimpinan kulturalnya di hadapan umat.

Para kiai kharismatik yang memiliki otoritas kultural-politik yang relatif kuat di aras lokal maupun nasional berdomisili dalam tiga variasi culture area di Jawa Tengah. Ada sederet nama masyhur kiai di Jawa Tengah yang sering disebut di antaranya adalah KH. Sahal Mahfudz (Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) berdomisili di Pati, KH. Mustofa Bisri (Syuriah PBNU Indonesia) berdomisili di Rembang, KH. Abdurahman Chudlori (Dewan Syuro PKB) berdomisili di Magelang, KH. Muhaiminan Gunardo di Temanggung, KH. Munif Zuhri di Girikusumo Demak, Habib Lutfi (Ketua Jamaah Thoriqoh Qodariyah Naqsyabandiyah Indonesia) berdomisili di Pekalongan, KH. Dimyati Rois di Kaliwungu Kendal, KH. Ahmad Sya’roni di Kudus, KH. Masruri Abdul Mughni (Rois Syuriah NU Jawa Tengah) di Brebes, KH. Hanif Muslih (Ketua PW PKB Jawa Tengah) di Mranggen Demak, dan lain sebagainya.

Comments

Popular posts from this blog

[11.02 MB]Download Hadad Alwi - Maulid Simtudduror mp3

[5.44 MB]Download Hijjaz - Jalan Bahagia mp3

[7.33 MB]Download Setia Band - Sholat Malam mp3